Berpuasalah Seperti Ulat, Jangan Seperti Ular


Dalam menjalani ibadah puasa di bulan suci Ramadan, umat Islam dianjurkan agar dapat belajar dari ulat. Anjuran ini sangat populer di kalangan pesantren di Jawa yang diungkapan dalam pepatah, “Pasa o kaya uler, aja kaya ula.” Berpuasalah seperti ulat. Jangan berpuasa seperti ular.

Pengurus Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Azman Lathif mengatakan, ulat setelah menjalani puasa kemudian mampu mengubah dirinya secara totalitas. Dari melata dan mengganggu tanaman serta dibenci petani, berubah menjadi kupu-kupu yang membantu proses pembuahan tanaman. Dari yang semula menjijikkan, menjadi indah.

“Sedangkan ular walaupun berpuasa tetaplah menjadi ular. Meski sudah berpuasa, wujudnya tidaklah berubah. Ular hanya berganti kulit saja. Sementara wataknya tetap sama.” Katanya saat mengisi ceramah jelang salat tarawih di masjid Gedhe Jumat (26/6) lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Azman juga berkisah tentang Raja Iskandar Zulkarnain dan pasukannya yang dinukil dari buku Tasawuf Modern karya Prof. Hamka.

Pada suatu ketika, ketika Raja Iskandar Zulkarnain dan pasukannya hendak berangkat menaklukkan suatu daerah, Ia berpesan kepada pasukannya. “Dalam perjalanan, nanti malam kita akan melintasi sungai. Ambillah apa pun yang terinjak di sungai itu.

”Ketika malam tiba dan pasukan Iskandar Zulkarnain melintasi sungai, tampaklah bahwa prajuritnya terbagi menjadi 3 (tiga) tipe. Pertama yakni prajurit yang tidak mau mengambil apa-apa karena yakin yang diinjaknya hanyalah batu. Kedua adalah prajurit yang sekadar menurut perintah sang raja, sehingga kemudian mengambil sekadarnya saja. Sedangkan yang ketiga adalah prajurit yang mengambil banyak sekali apa-apa yang terinjak di sungai, sehingga membuat tas mereka penuh dan kepayahan dalam membawanya.

“Ketika di tempat pemberhentian, Iskandar Zulkarnain bertanya apa yang didapatkan prajuritnya ketika menyeberangi sungai.’’ Azman berkisah, “Para prajurit pun membuka tasnya masing-masing, ternyata isinya intan berlian.

Prajurit yang bersungguh-sungguh dan mengambil banyak, mereka pun bersuka cita. Senang sekali karena mendapatkan bekal yang sangat cukup. Yang mengambil sedikit juga senang, tapi agak menyesal. Sedangkan yang tidak mengambil apa-apa merasa sangat kecewa karena meskipun sama-sama menyeberangi sungai mereka tidak mendapatkan apa pun.

”Menurut Azman, jika konteks cerita di atas dihubungkan dengan Ramadan, maka akan ketahuan kita akan menjadi seperti apa setelah melewati sungai bernama Ramadan ini. Apakah kita mampu mengambil hikmah bulan Ramadan sebanyak-banyaknya karena saking berharganya, hanya mengambil sekadarnya, atau justru sekadar numpang lewat dan tidak mengambil hikmah apa-apa.

“Jangan kita seperti orang yang tidak mengambil apa pun dari sungai itu karena menganggap itu hanya batu. Kita akan menjadi orang yang menyesal. Bulan Ramadan ini adalah kesempatan terbaik untuk kita memperbanyak bekal, untuk perjalanan yang abadi. Perjalanan yang tiada akhir. Perjalanan yang teramat sangat panjang.” Pesannya.

Sumber  : http://www.kompasiana.com/

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *