Semrawut Wajah Aceh Selatan Ketika Pala Tak Lagi Berbunga


Kematian pala sudah lama terdengar, jauh sebelum aku sadar betapa berdampaknya masalah ini bagi kehidupan masyarakat di Aceh Selatan. Sekitar awal tahun 2000 geliat perekonomian masyarakat benar-benar menurun secara teratur. Tambahnya lagi puncak konflik yang menjadikan Aceh sebagai daerah darurat militer membuat masyarakat kehilangan kesempatan untuk merawat tanaman palanya.
Kebun pala tak terurus lagi, hutan yang ditanami pala tak bisa dikunjungi. Ketika itu pula serangan jamur akar putih dan hewan penggerek batang mulai datang menyerang. Ribuan hektar tanaman pala milik petani mati membuat duka yang amat dalam bagi petani pala.

Batang pala yang mati di Panton Luas, Tapaktuan Aceh Selatan

Terbayang akan kenangan ketika pala mulai berbunga, masyarakat beramai ramai memetik buahnya. Seperti yang tertulis dalam buku mantan Bupati Aceh Selatan Sayed Mudhahar Ahmad Ketika Pala Mulai Berbunga. Oh., betapa indahnya negeri pala ini dulunya.

Lengang 

Kematian pala itu sudah berlangsung lama, ternyata begini dampaknya. Kotaku menjadi lengang bagai kota sakit yang tidak mempunyai denyut kehidupan.
Pada bulan November 2017 lalu program Perempuan Peduli Leuser diadakan di Kota Tapaktuan. Aku sangat senang karena menjadi tuan rumah. Pastinya aku akan bisa mengajak teman-temanku untuk menikmati keindahan kota pala ini.

Tugu Pala di Tengah Kota Tapaktuan

Aku baru tersadar ketika teman-temanku bertanya, di mana tempat ngopi atau minum sirup pala yang asyik, wisata kuliner yang bisa dinikmati, dan pusat oleh-oleh khas Aceh Selatan. Entah aku yang kurang tahu di mana lokasinya, tapi ketika malam tiba aku bingung mau membawa mereka kemana.
Setahu aku dulunya di pelabuhan ada tempat kuliner yang menjajakan makanan, tapi sayangnya tidak ada lagi sekarang. Suasana kota pun juga tidak seramai dulu menurutku yang dulunya ketika malam dipenuhi banyak orang. Tapi sekarang aku merasa ngeri pulang dari Tapaktuan ke Samadua pada pukul 21.00 malam.
Tidak hanya itu, kampungku yang dulunya merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Samadua yaitu Air Sialang kini hanya meninggalkan rukonya saja. Aku ingat betul bagaimana ibu menceritakan betapa ramainya kampungku ini didatangi oleh banyak orang untuk berbelanja.
Apalagi setelah panen pala saat mendekati lebaran. Semua orang berbagi rezeki dari hasil panen pala itu. Para pedagang pun samakin ramai, sehingga nama jalan di Air Sialang dibuat menjadi Jalan Perdagangan Air Sialang.
Bukan saja di Air Sialang, pusat perbelanjaan seperti di Tapaktuan, Manggeng, dan Kota Fajar juga penuh dengan aktifitas perdagangan. Sayangnya setelah kematian pala semua menjadi lengang. Entah kamana para pembeli itu, hingga kativitas pasar pun tidak semeriah dulu.

Jalan Perdagangan Air Sialang Samadua, Aceh Selatan yang kini tinggal rukonya saja

Para pedagang di Air Sialang pun hijrah ke tempat lain seperti Nagan Raya, Sinabang, dan Subulussalam untuk bisa melajutkan kegiatan daganganya. Toko yang berjajar di sepanjang Pasar Air Sialang tutup, meninggalkan kenangan indah ketika pala masih berjaya.
Sekarang aku baru tersadar bahwa karena kematian palalah yang mengakibatkan ini semua. Masyarakat Aceh Selatan yang mayoritasnya petani pala telah kehilangan sumber matapencahariannya.
Ketika sumber rezeki telah berkurang, tentunya geliat perekonomian masyarakat melemah sehingga pasar-pasar pun menghilang. Orang-orang harus memilih barang-barang yang menjadi prioritas untuk dibeli demi kelangsungan hidup mereka. Makanya aktivitas di Aceh Selatan terkesan lengang.

Nasib Petani Pala

Aku dan teman-teman Perempuan Peduli Leuser bermaksud untuk mengangkat isu ini menjadi sebuah media kampanye lingkungan. Lalu kami berkujunjung untuk melihat para petani pala dan mendengarkan kisah mereka semenjak kematian pala ini.
Seorang petani pala dari Panton Luas Tapaktuan menceritakan bagaimana sedih hidupnya setelah kematian pala ini. Dearah yang merupakan buffer zone Leuser ini merupakan daerah terakhir merasakan dampak kematian pala.

Petani Pala yang Sedang Memetik Buah Pala di Batu Itam, Tapaktuan Aceh Selatan

Tepatnya tahun 2015, di mana semua tanaman palanya mengering menggurkan daun, dan meninggalkan kerangka. Seperti tersambar petir, tanaman pala itu mengering dan mati seketika menyisakan tangis dari petani-petani yang merawatnya.
Petani telah mencoba berkali-kali menanam kembali pala di tempat yang sama, tapi hasilnya pala juga tidak kian berbunga. Tanaman ini jadi makanan empuk bagi jamur akar putih dan hewan penggerek batang. Masyarakat pun spesimis untuk menanami kembali pala, karena setiap ditanam akan mati lagi karena penyakitnya yang tidak bisa teratasi.
Kini banyak masyarakat kehilangan matapencaharian dan anak-anaknya kehilangan masa depan. Karena dulunya hasil pala inilah yang bisa mensejahterakan masyarakat Aceh Selatan dan juga untuk menyekolahkan anak-anaknya untuk mendapatkan gelar sarjana.
Kini semua hanya tinggal kenangan. Wajah Aceh Selatan yang tertulis dalam buku Seraut Wajah Aceh Selatan Ketika Pala Mulai Berbunga berubah menjadi semrawut wajah Aceh Selatan ketika pala tak lagi berbunga.
Berikut aku tampilkan jejak rekaman wajah Aceh Selatan yang kini merindukan kembali kajayaan pala.

Sumber : https://www.yellsaints.com/2018/01/semrawut-wajah-aceh-selatan-ketika-pala.html

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *